-->

Honorer yang Hororer

Ada dua hal yang paling mendasar di Aceh, yang tidak kunjung selesai ditangani. Pertama adalah kemiskinan dan kedua adalah honorer di tubuh Pemerintah Aceh/ kabupaten yang terus membengkak dari tahun ke tahun. Hingga 2015, jumlah tenaga honor di tubuh Pemerintah Aceh sudah mencapai 8000 orang. Dengan jumlah yang demikian, Aceh harus mengalokasikan dana sekitar 350 miliar per tahun untuk memberikan “biaya ala kadar” untuk generasi pecinta baju cokelat itu.
Di sisi yang lain, sejak 1 Januari 2017, Pemerintah Aceh harus menanggung dan membiayai sebanyak 11.552 orang guru honor tingkat SMA/SMK yang bertebaran di seluruh Aceh. Mereka yang sebelumnya di bawah tanggungan pemerintah kabupaten/kota di seluruh Aceh, karena perintah Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah, harus menganggarkan dana tambahan senilai 325 miliar tiap tahunnya untuk membiayai kebutuhan alakadar calon “cekgu definitif” yang telah dengan ikhlas mendarmabaktikan diri dan waktu untuk mendidik anak bangsa, walau dengan bayaran yang tidak pantas.
Jumlah tenaga honorer/kontrak di Aceh itu (honorer umum dan sekolah) belum lagi ditambah dengan tenaga yang sama di kabupaten. Angka-angka bak gunung es di tiap kabupaten untuk honorer tingkat daerah ditambah dengan tenaga bakti dan magang, bila berhasil di buka ke publik, percayalah, hampir 40 persen — angka ini masih dugaan penulis, bisa saja berkurang atau lebih– angkatan kerja berusia muda di Aceh yang memiliki gelar sarjana, menjadi pengangguran tertutup. Mereka bergerak tak termonitor, tak produktif serta membuat neraca keuangan daerah tidak seimbang.

Terjebak Mitos PNS
Berlomba-lombabya generasi muda menjadi PNS, dengan berbagai cara, dikarenakan buhul-buhul sihir yang begitu kental dibacakan di ubun-ubun mereka oleh publik. Menjadi PNS adalah jalan teraman dan jaminan hari tua di negeri yang carut marut ini. Kondisi ini bukan hanya melanda alam pikir kelompok awam tak berpendidikan, tapi juga melanda kalangan birokrat yang sejatinya memiliki tanggung jawab untuk membuat perencanaan pembangunan daerah. Coba cek ke berbagai instansi, tenaga kontrak yang diterima adalah sanak famili mereka saja, hanya dua tiga orang yang tidak bertalian darah.
Hal lainnya yang menarik minat generasi muda menjadi PNS adalah fakta bahwa menjadi ASN akan memberikan jalan cepat menjadi kaya raya. Hal ini terlihat jelas bahwa banyak yang tiba-tiba kaya setelah menjadi PNS. Walau secara UU pendapatan mereka sesuai “perkembangan zaman”, tapi dalam kenyataannya, tidak sedikit di antara mereka yang hidup bak bisnisman yang memiliki usaha sukses. Rumah megah, mobil mewah, penampilan tajir, dll adalah ciri khas ASN kekinian, tentunya yang memiliki posisi basah.

Pemerintah Hanya Memiliki Retorika
Sejauh ini dalam pandangan saya Pemerintah Aceh dan kabupaten/kota selalu memiliki wacana mensejahterakan kehidupan rakyat, memajukan perekonomian rakyat serta kemandirian rakyat. Jargon-jargon kesejahteraan terus diucapkan di tiap kesempatan berorasi. Namun, sejauh ini tidak ada satupun tindakan nyata Pemerintah yang mampu menjawab persoalan mendasar rakyat yaitu:miskin dan menganggur.
Bilapun Pemerintah memiliki program “pengentasan kemiskinan” hanya berupa pembangunan rumah dhuafa yang tidak adil dan korup, bantuan langsung tunai, serta program mercusuar lainnya yang sejatinya tidak pernah mampu menjawab persoalan, konon lagi memakmurkan rakyat.
Di sisi lain, penguasaan lahan produksi semakin nyata dikuasai oleh kelompok kecil yang memiliki kapital besar. Semua sektor produksi akhirnya dimonopoli oleh kaum bermodal besar yang rakus. Dalam kondisi seperti ini, Pemerintah justru berbangga dengan banyaknya “orang kaya rakus” yang “menanam saham” dengan cara memonopoli lahan. Akhirnya, rakyat yang sudah turun temurun miskin akut, bilapun terberdayakan, sekedar menjadi buruh kasar yang tidak berdaulat atas lahan produksi.

Membentuk Cluster Ekonomi
Aceh sebagai daerah yang kaya sumber daya alam, memiliki bentang lahan yang maha luas, laut yang luas serta dengan jumlah penduduk yang hanya 5 juta orang, saya kira memiliki kemampuan untuk keluar dari kemelut kemiskinan yang sudah nyaris abadi ini. Dengan dana yang melimpah untuk beberapa tahun lagi, daerah ini memiliki peluang untuk bangkit.
Lalu, langkah apa saja yang harus ditempuh? Di awal tulisan ini sudah disebutkan bahwa jumlah tenaga honorer di Aceh, termasuk tenaga kependidikan, sudah di atas ambang batas normal. Kehadiran mereka dengan statusnya itu telah secara nyata menjadi ancaman laten anggaran daerah. Tiap tahunnya, untuk tingkat propinsi saja, anggaran yang dihabiskan mencapai 675 miliar untuk memberikan honorarium yang tidak seberapa untuk puluhan ribu honorer. Itu belum termasuk dengan honorer yang berada di bawah ketiak pemkab.
Penulis menilai bahwa seluruh honorer, kontrak, bakti dan magang untuk segera diberhentikan. Mereka harus didata dengan baik dan benar. Kemudian di parkirkan untuk sementara waktu. Tentu langkah ini tidak populis dan cenderung akan ditolak –di awal– karena telah “memutilasi mimpi mereka menjadi PNS.
Kemudian, mereka dipilah sesuai kompetensi yang dimiliki. Kemudian, bersama dengan pengangguran lainnya, diberikan pelatihan life skill. Mereka harus benar benar dilatih agar menjadi angkatan kerja yang terampil.
Setelah selesai masa studi keterampilan, mereka kemudian dikembalikan ke cluster-cluster ekonomi yang telah disiapkan oleh pemerintah, baik di sektor pertanian, peternakan, maupun perikanan dan industri lainnya yang ada di Aceh.
Angkatan kerja ini kelak akan menjadi suporter utama dalam menjadikan Aceh sebagai daerah produktif. Mereka diarahkan menjadi penyedia kebutuhan dunia yang kelak akan bisa dibeli oleh investor.
Akhirnya, berdarah -darah membangun kemandirian bangsa Aceh, akan lebih berguna daripada sekedar terus menerus membual tentang kemajuan, dengan pendekatan program-program mercusuar yang sejatinya tidak menjawab persoalan Aceh. Semua orang punya mimpi untuk sejahtera. Namun mimpi tersebut acap kali terbentur kenyataan bahwa mereka tak memiliki peluang. Hanya sedikit yang berhasil menang bila bertarung dalam pasar kapitalis. Kehadiran Pemerintah menjadi kunci agar kelak generasi muda memiliki pandangan bahwa: honorer itu adalah horor. Mengerikan dan bukan jalan yang benar, karena takkan mampu mengeluarkan mereka dari jurang kemiskinan.

0 Response to "Honorer yang Hororer"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel